Oleh : Mohamad Asrori Mulky
Dalam kisah Mahabharata, Karna, dikenal sebagai musuh utama Arjuna. Keduanya bersaing untuk selalu menjadi yang terbaik. Dalam seni memanah dan olah keprajuritan, mereka disebut-sebut memiliki kemampuan yang sepadan. Tapi, saya berani mengatakan, Karna berada satu tingkat di atas rivalnya itu.
Tak mudah mengalahkan Karna dalam sebuah pertempuran. Dalam Baratayudha misalnya, Basudewa Krisna perlu melakukan banyak tipuan agar murid terkasih dari Begawan Parashurama itu bisa dikalahkan Arjuna. Karna pun berhasil dibunuh. Dia dihabisi saat sedang dalam keadaan tidak bersenjata, saat semua pengetahuannya tiba-tiba saja sirna hilang dari dirinya.
Di ujung kematiannya, tepat sesaat panah Gandhiwa milik Arjuna akan dilepaskan, Karna teringat pada sebuah kutukan yang pernah diucapkan sang guru, Parashurama. “Akan tiba suatu masa di mana seluruh pengetahuan-mu akan hilang, di saat paling menentukan dalam hidup-mu berada di tubir kematian”. Kutukan itu membantu memenangkan Arjuna dalam sebuah pertempuran paling menentukan.
Perang di Kurusetra yang semula digelar untuk menegakkan dharma (kebajikan) dan menumpas kejahatan, justru dibaluri noda ketidakjujuran. Pengkhianatan demi pengkhianatan dirancang guna menjegal kemenangan Karna. Sesuatu yang sebetulnya tidak boleh dilakukan oleh watak ksatria agung seperti Krisna dan Arjuna. Namun, dalam perang yang terlanjur digelar itu, semua siasat dan tipu muslihat biasa dilakukan untuk sebuah kemenangan.
Kemahiran memanah Karna dilengkapi perisai yang menempel di tubuhnya sejak lahir membuat gentar lawan-lawannya. Tak ada satu senjata pun yang bisa melukai tubuhnya. Dia juga dikarunia Pashopati, senjata sakti pemberian Dewa Indra. Hanya dengan menyebut satu nama, senjata sakti itu bisa menuntaskan tujuannya. Ksatria manapun sebisa mungkin menghindari perang terbuka dengan Karna.
Status Sosial
Betapapun hebatnya Karna, selama hidupnya, dia tidak pernah mendapat pengakuan publik hanya karena Putrasuta (anak kusir), kasta terendah di zaman Veda. Sistem kasta dan tata nilai di masyarakat kala itu telah membuat suami dari Vrusali ini, dikalahkan oleh pandangan hidup yang picik. Di mana pengetahuan dan kemampuan dari seseorang selain Brahmana atau Ksatria dianggap kesalahan.
Pada zaman yang merepih seperti pasir sekarang pun, status sosial menjadi alat ukur paling ampuh untuk memastikan kehormatan seseorang. Tampilan mengaburkan kemampuan. Bentuk mengalahkan isi. Kulit menenggelamkan inti. Dan akhirnya seseorang akan dihormati, dipandang, disukai, didekati, bahkan dicintai karena asal-usul, keturunan, dan status sosial. Bukan karena pengetahuan dan kemampuan.
Lihatlah di sekeliling kita—saya dan mungkin juga pembaca—bisa jadi termasuk bagian dari masyarakat yang didikte oleh kultur, nilai, kebiasaan moral, bahkan oleh prinsip-prinsip religius dan politik yang mengekang. Sehingga kita tidak lagi menjadi manusia bebas yang punya kuasa mengekpresikan dan mengaktualisasikan kemampuan yang ada dalam diri.
Kenyataan seperti ini yang dalam istilah Antonio Gramsi disebut sebagai hegemoni. Di mana pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan disebarkan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan. Akibatnya, budaya hegemonik masuk menyusup ke dalam sendi-sendi kehidupan.
Karna hidup dalam tata nilai seperti itu. Dia terhegemoni oleh sebuah sistem keyakinan yang mengakar di tengah masyarakat. Di mana kaum suta tidak boleh melampaui capaian kaum Ksatria dan Brahmana. Karna benar-benar terjerat dalam lingkaran tradisi yang membelenggu dirinya dan kemampuannya. Kemampuannya dibatasi, bahkan sama sekali tidak diakui.
Karna adalah kisah tentang anak manusia yang tidak pernah dikehendaki terlahir di bumi. Sejak bayi dia dibuang ke Sungai Gangga oleh ibunya, Kunti, hanya karena perbuatan yang sama sekali tidak pernah dia lakukan sebelumnya. Kunti melahirkan Karna di luar pernikahan, suatu perbuatan yang dianggap kotor dan mencoreng nama baik keluarga. Demi menutupi aib keluarga, Karna dibuang.
Sebagaimana Wisanggeni, Karna telah banyak mereguk pahit getir kehidupan. Dia terlahir begitu saja, terlempar ke dalam kehidupan dunia yang penuh enigmatik. Dia berada dalam dunia yang sama sekali tidak pernah menerima kehadirannya. Dibesarkan oleh tukang kusir, Adirata. Dikucilkan masyarakat. Dan ditolak menjadi murid oleh beberapa guru—salah satunya Dorna, guru para Pandawa dan Kurawa.
“Tidak ada yang lebih mengerti tentang kesepian dan kesendirian selain Karna”, kata Bhisma. Putra Gangga ini tahu betul derita yang dialami Karna. Dia sangat memahami suasana batin yang mengganggu pikiran Karna. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak sanggup melawan tradisi, apalagi mendobraknya. Sebagai pejabat Hastinapura dan tokoh bangsa Arya, seharusnya Bhisma bisa merubah tradisi yang tidak mendukung kemajuan dan perkembangan zaman.
Pengalaman hidup Karna adalah potret sial dari struktur nilai yang semena-mena yang dibuat oleh para elite penguasa, oleh sebuah tradisi yang menjerat kebebasan dan membelenggu ekspresi seseorang. Tidak mudah menjalani hidup seperti karna. Tapi dia mampu melewati beragam pergolakan dalam seluruh perjalanan hidupnya. Perjuangannya untuk mendapat pengakuan publik atas kemampuannya dalam olah keperajuritan tidak pernah kenal lelah.
Bagi Karna, siapapun tidak menghendaki terlahir dalam keadaan miskin. Setiap yang dilahirkan tidak punya kuasa memilih harus terlahir dalam status sosial yang mana. Bahkan setiap manusia tidak pernah diminta untuk dilahirkan. Tiba-tiba saja kita ada di dunia. Lalu kenapa Karna harus dihukum dan dikucilkan dari masyarakat hanya karena dia terlahir dari keuarga Suta.
Ksatria Besar
Tak ada usaha yang sia-sia. Tak ada hasil yang mengkhianati upaya. Pasca kematiannya, Karna dikenal sebagai ksatria besar. Namanya harum, bersanding dengan nama-nama besar lain sperti Bhisma, Dhorna, dan Arjuna. Sejarah mencatatkan namanya sebagai ksatria sejati, setia pada kebenaran yang diyakininya, dan rela mengorbankan jiwa raga demi sebuah persahabatan.
Tentu saja pengalaman hidup Karna bisa terulang di zaman ini kepada siapa pun, selama tata nilai masyarakat masih mempertahankan struktur kelas yang diskriminatif dan budaya hegemonik yang dikendalikan elite.
Karna dan hal-hal yang tak pernah selesai akan selalu ada dari watu ke waktu, dari generasi ke generasi, selama putaran zaman masih menampung buangan sampah peradaban masa lalu, yang menolak kemajuan dan perubahan.