Oleh
Ade Fatimah Zura (0205222080)
Sagita Br Sinambela (0205222043)
Mahasiswa Hukum Pidana Islam Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
Pembaharuan hukum pidana di Indonesia menjadi isu penting dalam upaya menciptakan sistem hukum yang lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat modern. Langkah ini terlihat dari penggantian Wetboek van Strafrecht (WvS), yang merupakan warisan kolonial Belanda, dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang disahkan pada Desember 2022. KUHP baru ini bertujuan untuk mencerminkan nilai-nilai Pancasila, adat istiadat, dan prinsip universal hak asasi manusia, sehingga diharapkan dapat menjadi landasan hukum yang lebih kontekstual dan adil.
Secara garis besar, pembaharuan ini mencakup beberapa aspek penting. Salah satunya adalah penguatan pendekatan keadilan restoratif, yang lebih menekankan pada pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat. Pendekatan ini dianggap lebih manusiawi dibandingkan dengan keadilan retributif yang hanya berfokus pada penghukuman. Selain itu, pembaharuan ini juga memperkenalkan pasal-pasal baru yang mengatur tindak pidana modern, seperti siberkriminalitas, sekaligus mengakui keberadaan hukum adat dalam kerangka hukum nasional.
Dari perspektif sosiologis, pembaharuan hukum pidana ini merespons perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Perkembangan teknologi, pergeseran norma-norma moral, serta meningkatnya kompleksitas hubungan sosial menuntut hukum yang adaptif dan relevan. Misalnya, pengaturan terkait siberkriminalitas menjadi penting karena kejahatan ini tidak ada dalam sistem hukum kolonial yang lama. Hukum pidana yang baru harus mampu menjadi cerminan nilai-nilai sosial yang hidup di masyarakat agar dapat diterima dan efektif dalam penerapannya.
Pendekatan keadilan restoratif yang diusung KUHP baru juga memiliki dimensi sosiologis yang kuat. Restorative justice menempatkan masyarakat dalam proses pemulihan keadilan, sehingga hukum tidak hanya menjadi alat negara, tetapi juga alat rekonsiliasi sosial. Pendekatan ini sejalan dengan budaya gotong royong yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia, di mana penyelesaian konflik sering kali dilakukan secara musyawarah untuk mencapai kesepakatan yang adil bagi semua pihak.
Dari perspektif filosofis, pembaharuan hukum pidana bertujuan untuk mewujudkan keadilan substantif yang tidak hanya bersifat formal tetapi juga mencakup keadilan moral dan sosial. Filosofi hukum pidana baru ini menekankan keseimbangan antara hak individu dan kepentingan masyarakat. Artinya, hak-hak individu harus dihormati tanpa mengorbankan stabilitas sosial dan kepentingan publik. Hal ini terlihat dalam pengaturan hukum adat yang diakui sebagai bagian dari sistem hukum nasional, yang menunjukkan penghormatan terhadap keberagaman budaya dan norma lokal.
Selain itu, integrasi antara nilai-nilai lokal dan norma universal menjadi aspek filosofis penting dalam pembaharuan hukum pidana. KUHP baru berusaha mengakomodasi adat istiadat dan praktik hukum tradisional, namun tetap sejalan dengan prinsip-prinsip universal seperti penghormatan terhadap hak asasi manusia. Pendekatan ini mencerminkan upaya untuk menciptakan sistem hukum yang inklusif, yang mampu menjembatani tradisi lokal dengan perkembangan global.
Meskipun demikian, implementasi pembaharuan hukum pidana ini tidak lepas dari tantangan. Penyesuaian infrastruktur hukum, seperti pelatihan aparat penegak hukum agar memahami dan menerapkan norma-norma baru, menjadi tantangan yang harus segera diatasi. Selain itu, penerimaan masyarakat terhadap perubahan ini juga memerlukan pendekatan edukatif yang komprehensif agar mereka dapat memahami dan mendukung aturan-aturan baru yang diterapkan.
Secara keseluruhan, pembaharuan hukum pidana di Indonesia adalah langkah maju dalam menciptakan sistem hukum yang lebih relevan, responsif, dan berkeadilan. Dengan mempertimbangkan perspektif sosiologis dan filosofis, KUHP baru diharapkan mampu menciptakan keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat, serta mencerminkan nilai-nilai keadilan yang substansial. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada komitmen bersama antara pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat untuk mewujudkan tujuan pembaharuan ini.