Usai penyelenggaraan Pemilu serentak 17 April 2019, banyak pihak merespon dengan mendorong evaluasi atas penyelenggaraan Pemilu serentak di Indonesia.
Elit politik seperti Jusuf Kalla, Hidayat Nur Wahid, Abdul Kadir Karding, juga para elit Parpol lain hampir semua menyuarakan bahwa Pemilu serentak melahirkan banyak masalah dan menjadi Pemilu paling kompleks pasca reformasi.
Lantas, apakah Pemilu serentak sudah sesuai dengan maksud dan tujuan dari perbaikan proses demokrasi di Indonesia?
Ya, salah satu argumen penting yang mendasari penyelenggaraan Pemilu serentak di Indoensia adalah Pemilu serentak diharapkan akan menciptakan efek ekor jas (coattail effect) dan berikutnya adalah melahirkan kecerdasan politik (political efficacy).
Penyelenggaraan Pemilu serentak 2019 nampaknya tidak memberikan dampak atas dua asumsi tersebut, ekor jas dan pemilih cerdas.
Mari kita urai, terkait efek ekor jas dan pemilih cerdas.
Efek ekor jas melalui Pemilu serentak yang diadopsi di Indonesia tentu tidak lepas dari praktik Pemilu di Amerika Serikat.
Dalam studi Pemilu di AS, salah satunya dilakukan oleh David Samuels, mengenai pemilu di AS, coattail effect dimaknai sebagai kemampuan kandidat yang lebih tinggi untuk memperoleh tiket dan membawa kandidat lainnya untuk mendapat tiket yang sama.
Biasanya keterhubungan itu terjadi pada pemilihan presiden dan pemilihan legislatif.
Praktik Pemilu Serentak
Praktik Pemilu serentak selain di AS juga dipraktikkan di beberapa negara dianatranya di daratan Eropa dan juga Amerika Latin.
Pemilihan presiden dan anggota legislatif dilakukan secara serentak di negara-negara Amerika Latin seperti di Bolivia, Columbia, Costa Rica, Guatemala, Guyana, Honduras, Nicaragua, Panama, Paraguay, Peru, Uruguay, dan Venezuela.
Lantas, pakah Pemilu serentak tersebut benar-benar memberikan efek ekor jas dan melahirkan pemilih cerdas?
Sejak era 1980-an banyak pakar mengkaji efek dari Pemilu serentak dalam kaitannya tentang partisipasi pemilih.
Hasil studi Campbell misalnya menguraikan bahwa Pemilu serentak di Amerika tidak selalu memberikan efek ekor jas.
Saat tertentu melahirkan lonjakan partisipasi pemilih namun disituasi lain justru menurunkan partisipasi pemilih.
Menurut Campbell (1960) dalam pemilu serentak ada gejala–gelombang penurunan dan pelonjakan, karena pemilu serentak menurutnya hanya berfungsi sebagai “stimulasi politik” untuk meningkatkan partisipasi.
Lebih lanjut, Campbell mengatakan bahwa Pemilu serentak yang digabungkan dengan proporsional (PR), justru dianggapnya menguntungkan partai papan tengah.
Hasil studi lainnya diungkapkan oleh Lijphart dimana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Pemilu serentak dapat meningkatkan partisipasi pemilih.
Sementara Rose juga menemukan bahwa hasil studi di wilayah Eropa menunjukkan bahwa Pemilu serentak dapat meningkatkan partisipasi pemilih pada pemilihan anggota parlemen.
Flickinger dan Studlar pada tahun 2007 juga melakukan studi di Eropa, mereka mengatakan bahwa Pemilu serentak di Eropa dalam peningkatan pemilih tidak bisa digeneralisir di seluruh Eropa.
Boyd juga melakukan studi dimana ia menemukan bahwa penyelenggaraan Pemilu serentak dapat meningkatkan jumlah pemilih.
Sebaliknya, hasil studi lain Geys justru menemukan bahwa Pemilu serentak tidak memiliki pengaruh positif terhadap tingkat partisipasi pemilih.
Dari sisi kecerdasan pemilih, Andersen (2011) menemukan bahwa Pemilu serentak justru memberikan pengaruh negatif terhadap pengetahuan pemilih terhadap calon yang akan dipilihnya.
Temuan lainnya dilakukan oleh Samuels (2000), menurutnya sosok calon Gubernur yang populer akan cenderung meningkatkan tingkat keterpilihan anggota parlemen dari satu partai atau partai pendukungnya, namun efek tersebut tidak ditemukan dalam pemilu presiden.
Kemudian peneliti Indonesia, Nurhasim (2019) melakukan studi terhadap Pemilu Serentak 2019 di Indonesia. hasilnya Pemilu serentak 2019 menurutnya hanya meningkatkan efek partisipasi pemilih, dan tidak menghasilkan multipartai moderat.
Nurhasim menambahkan, Pemilu serentak 2019 efeknya justru terbalik karena koalisi partai yang mendongkrak perolehan suara presiden dan bukan presiden yang meningkatkan suara
partai politik (koalisi).